Jumat, 27 Maret 2015

Survive di Era Antibiotik

Ditulis berdasarkan keprihatinan saya terhadap penggunaan antibiotik yang seperti kacang, asal telan kalo suka asal berhenti kalo suka, sok pinter beli obat sendiri layaknya sedang main dokter2an  

Seorang ibu datang memeriksakan anaknya yang berusia 4 tahun karena batuk pilek yang tak kunjung sembuh. Sang ibu mengatakan bahwa anaknya sudah minum obat antibiotik yang dibeli dari apotek, kata sang ibu “ini lho dok obat yang saya beli di apotek, obatnya mahal 1 tabletnya seharga tiga puluh lima ribu. Dulu waktu saya sakit saya diberi resep ini, lalu anak saya juga saya beri obat ini tapi dosisnya setengah”. Betapa kagetnya saya ketika saya lihat obat itu, obat itu berisikan levofloksasin, antibiotik golongan quinolon yang tidak aman untuk anak-anak.

Resistensi Antibiotik
Resistensi antibiotik adalah suatu keadaan dimana suatu jenis bakteri dalam tubuh manusia menjadi kebal sehingga tidak responsif terhadap antibiotik. Resistensi ini dapat berkembang secara alami melalui mutasi genetik pada bakteri atau bisa juga terjadi akibat pemakaian antibiotik yang tidak tepat.
Setelah gen resisten dihasilkan, bakteri tersebut dapat mentransfer informasi genetik pada bakteri lainnya melalui pertukaran plasmid. Mereka kemudian akan mewariskan sifat itu kepada keturunannya sehingga akan menjadi generasi resisten. Bakteri tersebut dapat memiliki satu atau lebih gen resistensi, bila satu kelompok bakteri memiliki kekebalan lebih dari satu antibiotik maka disebut bakteri multiresisten.
Resistensi antibiotik merupakan masalah yang sulit dalam dunia medis. Pengobatan untuk pasien menjadi lebih sulit ketika pasien tersebut terinfeksi bakteri yang resisten antibiotik. Beberapa jenis bakteri saat ini mampu menghasilkan enzim yang membuatnya jadi resisten terhadap antibiotik sehingga dapat menghancurkan kerja antibiotik. Akibatnya bakteri yang memiliki kekebalan kemudian dengan cepat berkembang biak dan menghasilkan koloni baru yang makin sulit dilumpuhkan. Karena itu para ahli berusaha membuat obat-obatan yang mampu menghambat produksi enzim tersebut agar antibiotik dapat semakin efektif.

Penyebab Resistensi Antibiotik
Penyalahgunaan antibiotik adalah penyebab umum resistensi antibiotik, misalnya penggunaan antibiotik untuk infeksi virus. Banyak orang yang menganggap antibiotika sebagai obat yang mampu menyembuhkan segala macam penyakit. Banyak pasien berharap atau meminta dokter untuk meresepkan antibiotik ketika terkena flu dan pilek. Padahal, antibiotik hanya untuk mengobati infeksi bakteri, bukan infeksi virus. Antibiotik hanya diperlukan bila sakit batuk pilek sudah ditumpangi infeksi sekunder oleh bakteri. Sebagian besar flu sebenarnya tidak memerlukan antibiotik.
Seperti halnya kasus diatas, masyarakat awam pun terbiasa mengonsumsi antibiotika dengan mudahnya hanya karena sedang menderita batuk, pilek, demam, diare atau gejala ringan lain yang sama sekali belum ditegakkan diagnosis klinisnya. Padahal gejala ringan seperti itu sebenarnya bisa diatasi dengan istirahat yang cukup, asupan nutrisi yang baik, dan dengan obat-obatan simptomatis untuk mengatasi gejala penyakit.
Selain itu, masyarakat juga sering menganggap sepele pemakaian antibiotika. Kebiasaan masyarakat yang tidak meminum antibiotika sampai tuntas karena merasa sudah sembuh. Misal, seorang pasien yang mendapat antibiotika sebanyak 15 tablet untuk pengobatan selama 5 hari, ternyata hanya mengonsumsi antibiotika untuk 2 hari saja karena merasa dirinya sudah sehat. Dosis antibiotik harus dihabiskan secara penuh, bila berhenti meminum antibiotik sebelum waktunya maka beberapa bakteri yang masih hidup akan menjadi resisten terhadap pengobatan antibiotik di masa depan.
Penggunaan antibiotika yang sembarangan merupakan faktor penyumbang terbesar terjadinya resistensi antibiotika. WHO juga menyebutkan kualitas obat-obatan yang rendah, program pencegahan dan pengendalian penyakit yang lemah juga mempercepat penyebaran resistensi antibiotika. Hal ini diperparah lagi dengan rendahnya tingkat penemuan antibiotika baru untuk membunuh bakteri yang resisten. Jika keadaan ini terus berlanjut, maka dapat dipastikan akan banyak penyakit yang tidak dapat disembuhkan di masa mendatang.

Dampak Resistensi Antibiotik
Masalah resistensi antibiotik terjadi oleh karena pemberian antibiotik yang tidak sesuai indikasi, dosis tidak adekuat, kombinasi antibiotik yang tidak perlu, serta antibiotik profilaksis yang tidak perlu. Resistensi antibiotik mengakibatkan pembiayaan yang besar, bayangkan ketika flu biasa diobati dengan antibiotika berlebih, hal ini menimbulkan resistensi. Adanya resistensi ini mendorong dokter untuk meningkatkan dosis, apabila peningkatan dosis ini tidak direspon baik oleh pasien maka akan timbul efek samping obat.
Adanya resistensi antibiotik dapat memperpanjang durasi sakit serta meningkatnya kematian. Ketika seharusnya pasien yang dirawat inap di rumah sakit sembuh dengan pemberian antibiotika standart selama 4 sampai 5 hari, karena tidak responsif terhadap antibiotika maka terkadang dokter harus mengganti antibiotik lain dengan durasi yang sama. Dokter cenderung harus menggunakan antibiotik yang lebih kuat dan lebih mahal untuk pasien tersebut. Tak jarang memburuknya kondisi pasien akibat infeksi berat karena tidak responsif terhadap berbagai macam antibiotik sehingga harus berakhir pada perawatan di ruangan ICU (intensive care unit).

Pencegahan Resistensi Antibiotik
Resistensi antibiotik pada bakteri bisa dikurangi dengan pemakaian antibiotik secara bijaksana dan rasional. Baik dokter maupun pasien dapat ikut berperan dalam mengurangi penyalahgunaan antibiotik. Antibiotik hanya digunakan ketika infeksi bakteri telah terjadi. Tanda inflamasi (peradangan) seperti demam belum tentu menunjukkan adanya suatu infeksi, ketika seorang anak tumbuh gigi juga terkadang badannya terasa hangat. Adanya infeksi dalam tubuh juga belum tentu infeksi bakteri sehingga penggunaan antibiotik bisa ditunda apabila tanda-tanda infeksi bakterial belum jelas.
Pemakaian antibiotik untuk infeksi virus bukan hanya membuang-buang biaya, tetapi dapat berefek meningkatkan resistensi antibiotik. Penyakit seperti batuk, pilek dan diare pada umumnya tidak memerlukan antibiotika karena disebabkan oleh virus sehingga dapat sembuh dengan sendirinya asal kondisi kekebalan tubuh pasien baik.
Penggunaan antibiotika harus sesuai dengan dosis dan jangka waktu yang diresepkan. Antibiotika yang diberikan kepada pasien telah dirancang untuk menyelesaikan satu episode pengobatan, setiap pasien harus menyadari bahwa antiobiotik harus tetap diminum sampai habis meskipun gejala-gejala penyakit sudah hilang. Jika anda tidak meminumnya dengan tuntas maka bakteri yang tidak mati karena antibiotika akan terus hidup dan berkembang menjadi bakteri resisten sehingga saat diberi antibiotika yang sama, anda tidak akan sembuh karena bakteri penyebab infeksi telah menjadi kebal.
Penggunaan antibiotika harus sesuai dengan petunjuk Dokter, terutama pengobatan untuk pasien dalam kondisi khusus, anak-anak, lansia, ibu hamil dan ibu menyusui. Dokter anda akan memilihkan antibiotik sesuai dengan kondisi sakit anda sehingga aman dan efektif. Apabila anda memiliki suatu alergi terhadap antibiotika, ingatlah jenis antibiotika tersebut dan ingatkan pada dokter kalau anda memiliki alergi terhadap obat tertentu. Dokter akan memberikan alternatif pengobatan yang sesuai dengan kondisi sakit anda.
Jangan sembarangan mengonsumsi antibiotika apalagi membeli antibiotika secara bebas tanpa resep dokter. Belilah antibiotika yang sudah diresepkan pada anda di apotek agar terhindar dari resiko membeli obat palsu atau obat yang tidak berkualitas. Saat menebus resep di apotek, tanyakan kepada apoteker manakah obat yang mengandung antibiotika.
Jika antibiotika yang anda minum telah habis segera hubungi Dokter. Jangan langsung membeli antibiotika berdasarkan resep dokter terdahulu, karena kondisi sakit anda yang sekarang jelas berbeda dengan kondisi sakit anda yang terdahulu.

Pencegahan resistensi antibiotik yang efektif adalah dengan mencegah penularan infeksi baik oleh masyarakat ataupun oleh tenaga medis di rumah sakit. Apabila infeksi tidak ditularkan ke orang lain maka secara tidak langsung pemakaian antibiotik akan terbatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar